Indonesia adalah negara hukum, hal itu telah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Konsep negara hukum adalah bahwa kebutuhan hidup bernegara harus didasarkan pada aturan hukum yang berlaku dalam pengambilan keputusan sebagai kebijakan. Baik kebijakan politik, ekonomi, sosial dan budaya.
Dalam prinsip negara hukum hal itu disebut “negara hukum, bukan manusia”. Oleh karena itu, dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan atau sistem kenegaraan berupa kebijakan, baik kebijakan politik, ekonomi, sosial, ekonomi, dan budaya harus berpedoman pada hukum sebagai bahan pertimbangan.
Mengingat Negara Hukum dibentuk dengan mengedepankan seluruh perangkat hukum itu sendiri sebagai suatu sistem yang berfungsi dan berkeadilan serta digunakan sebagai dasar untuk menciptakan, mengatur dan mengembangkan segala sesuatu yang ada dalam suatu negara (ekonomi, infrastruktur, politik, lembaga sosial, budaya), pendidikan, dan lainnya. Untuk itu perlu dibangun sistem hukum (law making) dan ditegakkan (law enforcement).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Jimly Asshiddiqie, Indonesia sebagai negara hukum setidaknya memiliki 13 elemen, yakni; berketuhanan Yang Maha Esa supremasi hukum, persamaan dalam kedudukan hukum, asas legalitas, pembatasan kekuasaan peradilan bebas yang tidak memihak, organ-organ campuran yang bersifat independen peradilan tata usaha negara, peradilan tata negara, perlindungan HAM, demokratis, transparansi dan kontrol sosial, berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara.
Dengan 13 elemen negara hukum tersebut, Indonesia bertujuan untuk melindungi segenap warga negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia.
Kekerasan seksual merupakan bentuk aktivitas seksual yang dilakukan secara paksaan dan mengancam akibat perilaku kekerasan seksual ini tentu akan berdampak pada kehidupan selanjutnya. Kejadian kekerasan seksual pada remaja terakhir ini semakin meningkat tajam dan mengemuka di Indonesia bahkan kota-kota lainnya termasuk Sumatera Barat.
Remaja yang pernah mengalami kekerasan seksual dalam bentuk apapun cenderung akan mengalami trauma baik secara psikologis maupun fisik seumur hidupnya. Seseorang yang pernah menjadi korban kekerasan seksual memiliki kecenderungan menjadi perilaku kekerasan seksual.
Untuk mencegah terjadinya trauma baik fisik maupun psikologis maka perlu ditingkatkannya edukasi tentang pencegahan kekerasan seksual dan edukasi personal safety skill atau keterampilan keselamatan pribadi dapat meminimalisir kasus kekerasan seksual pada remaja.
Dengan adanya pengaturan terkait HAM maka memberikan dua implikasi yang fundamental. Pertama perlindungan, penegakan, pemajuan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara terutama pemerintah. Kedua untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia diatur, dijamin, dan dituangkan dalam konstitusi UUD NRI 1945.
Pengaturan HAM terdapat pada bab XA UUD NRI 1945 ialah hak untuk mendapatkan rasa aman dan perlindungan dari ancaman serta bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia sebagaimana yang terdapat pada pasal 28 G UUD RI 1945. Salah satu perbuatan merendahkan martabat manusia yang kerap terjadi setiap tahunnya ialah kekerasan seksual.
Dalam kajian sosiologi perbuatan kejahatan seksual merupakan bentuk penyimpangan sosial. Hal ini dikarenakan perbuatan tersebut sangatlah bertentangan ketentuan norma dan hukum positif yang berlaku.
Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi saat ini merupakan problematika yang patut untuk diprioritaskan dalam arti haruslah dicari solusi untuk mencegah dan meminimalisir kejahatan tersebut dengan cara mengkaji dari aspek hukum, penyebab dan solusi untuk menangani kejahatan tersebut.
Sebagai bentuk nyata perlindungan perempuan dan anak terhadap kekerasan seksual maka dibentuklah beberapa perundang-undangan yang telah mengatur terkait kekerasan seksual.
Adapun perundang-undangan tersebut ialah KUHP atau kitab undang-undang hukum pidana, Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga atau KDRT dan undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang sistem peradilan pidana anak yang secara mutlak memberikan berbagai perlindungan hukum yang berkaitan dengan masalah perlindungan anak dan perempuan terhadap tindak pidana kekerasan seksual.
Kekerasan seksual merupakan kekerasan berbasis gender. Kekerasan seksual melingkupi segala perbuatan merendahkan menyerang, menghina hasrat seksual seseorang, perbuatan lainnya terhadap tubuh fungsi reproduksi, pemaksaan dalam hal seksualitas, bertentangan dengan kehendak seseorang yang berakibat pada penderitaan psikis, fisik, dan sosial. Pada hakikatnya kekerasan seksual ialah melingkupi segala bentuk ancaman dan pemaksaan seksual atau dapat dikatakan bahwa kekerasan seksual ialah kontak seksual yang dikehendaki oleh salah satu pihak.
Adapun definisi dari kekerasan seksual secara implisit dapat kita temui di dalam KUHPatau kitab undang-undang hukum pidana pasal 285 dan pasal 289 KUHP. Pasal 285 menyebutkan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum karena memperkosa dengan hukuman penjara selama lamanya 12 tahun. Sedangkan dalam pasal 289 KUHP disebutkan bahwa barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan melakukan pada intinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya 9 tahun.
Data kekerasan seksual di sumatera barat dari data sistem informasi online perlindungan perempuan dan anak (SIMFONI-PPA) Terhitung dari 31 Oktober 2022, Mencatat ada 371 Kasus dengan rincian kekerasan fisik sebanyak 70 kasus psikis 77 kasus, trafficking 2 kasus dan penelantaran 14 kasus dan kekerasan seksual dengan tempat kejadian yang paling banyak terjadi di rumah tangga 226 kasus dengan usia 13-17 tahun.
*Penulis: Fahrul Rozi Lubis*
*(Mahasiswa Fakultas Syari’ah/Hukum UIN IMAM BONJOL PADANG)*