Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pernah menjadi harapan besar reformasi. Dibentuk sebagai lembaga ad hoc untuk menangani korupsi di tengah mandeknya aparat penegak hukum, KPK awalnya menjelma sebagai simbol integritas dan keberanian. Namun, hari ini, KPK justru kehilangan taringnya. Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 telah mencabut independensinya, menjadikannya lembaga yang rentan terhadap intervensi dan politisasi. Dalam konteks ini, mempertahankan KPK bukan hanya kontraproduktif, tetapi juga menghambat reformasi penegakan hukum yang lebih efektif. Sudah saatnya KPK dibubarkan, dan wewenangnya dialihkan untuk memperkuat Kejaksaan Agung sebagai institusi penegak hukum yang kini terbukti lebih kapabel.
Secara hukum, independensi adalah syarat mutlak bagi lembaga penegak hukum agar dapat menjalankan tugasnya secara imparsial. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 36/PUU-XV/2017 menegaskan bahwa independensi KPK adalah inti dari legitimasi konstitusionalnya sebagai lembaga ad hoc. Namun, UU 19/2019 telah merusak fondasi ini. Pembentukan Dewan Pengawas (Pasal 3) yang mengendalikan operasi krusial seperti penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan menciptakan birokrasi tambahan dan membuka celah intervensi eksternal. Perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) berdasarkan Pasal 24 juga menempatkan mereka di bawah tekanan hierarkis birokrasi pemerintahan, menghilangkan fleksibilitas dan keberanian yang dulu menjadi ciri khas KPK. Dengan independensi yang terkikis, KPK tidak lagi memenuhi tujuan pembentukannya sebagaimana diamanatkan UU Nomor 30 Tahun 2002.
Lebih jauh, keberadaan KPK saat ini menimbulkan duplikasi fungsi dengan Kejaksaan dan Kepolisian, yang bertentangan dengan prinsip efisiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD 1945. KPK dibentuk karena Kejaksaan dan Polri dianggap lemah dalam menangani korupsi. Namun, Kejaksaan Agung kini telah menunjukkan transformasi luar biasa. Dalam beberapa tahun terakhir, Kejaksaan berhasil mengusut kasus-kasus besar yang sebelumnya tak tersentuh. Kasus korupsi BTS Kominfo merugikan negara Rp8,32 triliun, tetapi Kejaksaan mampu menyeret pejabat tinggi dengan vonis tegas. Skandal Jiwasraya dan ASABRI diselesaikan dengan pengembalian kerugian negara melalui penyitaan aset. Kasus PT. Timah, dengan kerugian Rp271 triliun dan dampak lingkungan yang masif, menunjukkan kapasitas investigasi Kejaksaan yang sistematis. Bahkan, kasus pertamax oplosan dengan kerugian fantastis Rp451 triliun menjadi bukti bahwa Kejaksaan mampu menangani perkara berskala raksasa.
Kinerja ini bukan kebetulan, melainkan cerminan reformasi internal Kejaksaan yang kini memiliki legitimasi kuat sebagai penegak hukum berdasarkan Pasal 24 ayat (3) UUD 1945. Sebaliknya, KPK justru terjebak dalam penanganan kasus-kasus kecil, kehilangan fokus pada korupsi besar, dan terus menuai kritik, termasuk dari pegawai internal yang disingkirkan secara kontroversial. Dalam perspektif hukum administrasi negara, duplikasi wewenang antar-lembaga hanya menciptakan fragmentasi dan inefisiensi. Mempertahankan KPK dalam kondisi ini sama dengan membiarkan beban anggaran negara untuk lembaga yang tidak lagi optimal.
Selain itu, revisi UU KPK telah membuka potensi politisasi yang membahayakan. Ketentuan yang mewajibkan koordinasi dengan pihak eksternal dan pengawasan oleh Dewan Pengawas menciptakan celah bagi intervensi politik, yang bertentangan dengan prinsip kepastian hukum yang adil dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Sejarah menunjukkan bahwa lembaga ad hoc yang kehilangan independensi rawan disalahgunakan sebagai alat tekanan politik atau pelindung pihak tertentu. Dengan kinerja yang kian merosot, KPK berisiko menjadi liabilitas bagi sistem penegakan hukum yang bersih dan akuntabel.
Pembubaran KPK bukanlah akhir dari pemberantasan korupsi, melainkan langkah menuju sistem penegakan hukum yang lebih terintegrasi dan efisien. Secara hukum, pembubaran dapat dilakukan melalui pencabutan UU 19/2019 oleh DPR, dengan alasan bahwa KPK tidak lagi relevan sebagai lembaga ad hoc. Wewenang penyidikan, penuntutan, dan pencegahan korupsi dapat dialihkan ke Kejaksaan, khususnya melalui penguatan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (JAM Pidsus), dengan mekanisme pengawasan independen untuk mencegah penyalahgunaan wewenang. Sumber daya dan anggaran KPK dapat direalokasi untuk memperkuat infrastruktur penegakan hukum Kejaksaan, memastikan kesinambungan perang melawan korupsi tanpa fragmentasi kelembagaan.
Reformasi penegakan hukum harus berpijak pada rasionalitas dan efektivitas. Kejaksaan Agung telah membuktikan diri sebagai institusi yang kuat, terpercaya, dan mampu menangani korupsi dengan skala dan dampak besar. Legitimasi publik yang kini dimilikinya menjadi modal kuat untuk menjadikan Kejaksaan sebagai ujung tombak pemberantasan korupsi. Sebaliknya, KPK yang terkekang justru menjadi bayang-bayang masa lalunya. Sudah saatnya kita berani mengambil langkah tegas: bubarkan KPK, perkuat Kejaksaan, demi supremasi hukum dan keadilan yang lebih nyata di Indonesia.
Ditulis oleh:
Adil Satria Putra, Direktur Indo Think-Tank Riset & Konsultan